HABAR BANJAR – Sudah 28 tahun berlalu sejak Tragedi Jumat Kelabu mengguncang Banjarmasin pada 23 Mei 1997. Namun, ingatan kolektif atas peristiwa kelam yang menewaskan puluhan orang dan melukai ratusan lainnya itu masih terus dirawat. Pagi hingga sore hari ini, ribuan warga dari berbagai latar belakang berkumpul dalam aksi damai dan pertunjukan teatrikal di pusat kota Banjarmasin sebagai bentuk penghormatan dan refleksi.
Dengan tema “Melawan Lupa, Merawat Luka,” aksi yang digelar di kawasan Siring 0 Kilometer itu diikuti oleh aktivis hak asasi manusia, mahasiswa, seniman, tokoh agama, keluarga korban, hingga masyarakat umum. Mereka berjalan damai dengan membawa spanduk, lilin, dan bunga sebagai simbol duka dan harapan.
Teatrikal yang Menyentuh Hati
Salah satu bagian paling menggugah dalam peringatan ini adalah pertunjukan teatrikal yang digelar di pelataran terbuka. Pertunjukan tersebut menampilkan kembali kronologi peristiwa kerusuhan yang terjadi menjelang Pemilu 1997—sebuah momentum politik yang saat itu dibayangi dugaan kecurangan dan tekanan terhadap suara rakyat.
Lewat dialog, musik, dan gerak tubuh para aktor lokal, penonton diajak menyelami suasana mencekam saat massa turun ke jalan, protes berubah menjadi kerusuhan, dan api membakar rumah, toko, bahkan tempat ibadah. Diiringi musik sendu dan narasi puitis, adegan-adegan ini sukses membuat banyak penonton larut dalam emosi, bahkan tak sedikit yang menitikkan air mata.
“Ini bukan hanya pertunjukan, ini adalah suara para korban yang selama ini sunyi,” ujar salah satu sutradara pertunjukan, Asih Nuraini, yang juga merupakan aktivis kebudayaan. Ia berharap generasi muda bisa memahami bahwa demokrasi dan keadilan yang mereka nikmati hari ini dibayar mahal oleh sejarah kelam.
Doa Lintas Agama dan Api Ingatan
Usai aksi teatrikal, peringatan dilanjutkan dengan doa lintas agama. Perwakilan dari berbagai pemeluk agama hadir dan membacakan doa secara bergantian. Lilin-lilin dinyalakan dan diletakkan di titik-titik yang dianggap sebagai simbol jatuhnya korban pada tahun 1997 silam. Beberapa peserta juga membawa foto-foto dokumentasi tragedi, sebagai pengingat bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi dan berdampak panjang.
Muhammad Ridha, koordinator aksi dari Komunitas Banjarmasin Bergerak, menyampaikan bahwa peringatan ini bukanlah ritual tahunan biasa. Menurutnya, ini adalah momen penting untuk mendorong negara agar tidak mengubur tragedi tersebut di balik tumpukan sejarah yang diabaikan.
“Kami menolak untuk melupakan. Kami ingin ada pengakuan negara, pemulihan terhadap korban dan keluarganya, serta jaminan bahwa tragedi seperti ini tak akan terulang,” ujar Ridha dalam orasinya.
Ia juga menyoroti pentingnya memasukkan peristiwa Jumat Kelabu ke dalam narasi sejarah lokal dan nasional secara resmi, agar tidak lenyap dari memori generasi mendatang.
Luka yang Belum Sembuh
Tragedi Jumat Kelabu terjadi pada 23 Mei 1997, hanya beberapa hari menjelang Pemilu legislatif. Ketegangan politik yang memuncak memicu gelombang protes masyarakat terhadap ketidakadilan dan dugaan manipulasi suara. Aksi yang awalnya damai berubah menjadi kerusuhan yang meluas, mengakibatkan pembakaran pasar, rumah ibadah, sekolah, dan fasilitas umum. Menurut berbagai catatan, sedikitnya 137 orang meninggal dunia, ratusan luka-luka, dan ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal serta mata pencaharian.
Sayangnya, hingga kini belum ada kejelasan hukum yang memadai atas kasus tersebut. Tidak ada pengadilan HAM, tidak ada pengakuan resmi, dan belum ada mekanisme pemulihan yang konkret bagi para korban dan keluarganya.
Melawan Lupa adalah Tanggung Jawab Bersama
Peringatan tahun ini menunjukkan bahwa masyarakat Banjarmasin tidak diam. Mereka sadar bahwa ingatan kolektif harus dirawat, bukan hanya sebagai bentuk penghormatan, tetapi juga sebagai tameng agar sejarah kelam tidak terulang di masa depan.
“Kita hidup dalam dunia yang cepat melupakan. Tapi luka yang tak diobati tidak akan sembuh. Inilah alasan kami terus turun ke jalan setiap 23 Mei,” tutur Yanti, salah satu peserta aksi yang juga kehilangan anggota keluarga dalam peristiwa tersebut.
Peringatan Tragedi Jumat Kelabu 2025 ini menjadi momentum penting yang bukan hanya menggugah nurani, tetapi juga menghidupkan kembali tuntutan lama: keadilan, kebenaran, dan pengakuan sejarah. Karena selama luka itu belum diobati, maka perjuangan belum selesai.