oleh Dr Noor Rahmini, S.E., M.E.
Akademisi dan Pemerhati Ekonomi Kreatif di Kota Banjarmasin
Habar Banjar – Perayaan kelulusan adalah momen penuh sukacita yang dirayakan oleh para siswa sebagai bentuk pencapaian atas perjalanan panjang dalam dunia pendidikan. Namun, sebuah momen yang seharusnya menjadi kenangan indah bagi siswa SMKN 1 Tapin Selatan angkatan 2025 justru menjadi sorotan publik akibat potongan video yang tersebar luas di media sosial, memunculkan berbagai persepsi dan asumsi negatif dari masyarakat, daerah dan dunia pendidikan
Apa yang disampaikan Kepala SMKN 1 Tapin Selatan, Bapak Edi Suhariyono, dalam merespons isu ini dengan sikap terbuka dan bertanggung jawab, dinilai penulis sudah cukup bijak. Dari sisi pendidikan, beliau menjelaskan bahwa sekolah mengambil peran aktif dengan mengakomodir perayaan kelulusan di lingkungan sekolah guna menjaga agar para siswa tidak melakukan kegiatan yang berpotensi melanggar norma atau merugikan masyarakat, seperti konvoi liar di jalan raya atau aksi corat-coret fasilitas umum.
Dengan mengadakan acara di dalam sekolah, pihak sekolah justru berupaya mengarahkan ekspresi siswa dalam koridor yang positif dan terkontrol. Inisiatif kegiatan murni dari siswa yang coba diakomodir sekolah dengan berbagai syarat (durasi 1jam, dilaksankan siang hari, berpakaian yang sopan) dan dibawah pengawalan pihak sekolah dan aparat kepolisian.
Dari sisi hukum, Kepala Sekolah dengan tegas menyampaikan bahwa tidak ada pelanggaran hukum dalam acara tersebut. Tidak ditemukan adanya konsumsi minuman keras, narkoba, atau barang-barang ilegal lain. Bahkan, jika dalam pelaksanaan terdapat unsur yang melampaui batas kewajaran, seperti aksi sawer-menyawer yang tidak direncanakan dalam konsep acara, pihak sekolah tidak segan untuk menyampaikan permintaan maaf dan memastikan hal serupa tidak terulang kembali di masa mendatang. Ini adalah bentuk kesadaran hukum dan komitmen terhadap etika publik.
Dari sisi sosial, penting untuk menyadari bahwa bentuk ekspresi generasi muda hari ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan budaya populer, termasuk musik modern seperti EDM yang dibawakan DJ. Salah seorang alumni, Muhammad Fauzi Fadilah, mengajak masyarakat untuk tidak serta-merta melihat fenomena ini dengan logika negatif. Ia mengingatkan bahwa ekspresi seperti musik dan hiburan memiliki tempat di dunia pendidikan selama dilakukan dalam batas-batas kewajaran. Saweran, dalam konteks ini, sebaiknya dimaknai sebagai bentuk penghargaan kepada penghibur. Hal senada juga disampaikan pemerhati bidang komunikasi Bayu, kalau saweran, secara tradisi justru itu bentuk penghargaan masyarakat kepada seniman panggung. Ini harus dilihat dari kaca mata budaya yang dinamis.
Dalam perspektif budaya, genre musik modern seperti EDM (electronic dance music) yang dipandu DJ bukanlah sekadar hiburan, tetapi juga bagian dari identitas budaya generasi saat ini. Musik telah menjadi bahasa ekspresi global yang melintasi batas geografis dan sosial. Music seperti diketahui Bersama, menjadi bagian dari 17 sub sektor ekonomi kreatif. Penulis juga sepakat dengan apa yang diutarakan, pemerhati bidang komunikasi Bayu yang menyampaikan bahwa munculnya persepsi negatif terhadap DJ lebih disebabkan oleh streotip budaya.
Selama masih dalam batas etik dan norma, tidak ada yang salah dari event bernuansa DJ. Yang keliru itu persepsi yang menyempitkan seni ini dalam ruang negatif. Kesan DJ erat dengan dunia hiburan malam tidak bisa dipungkiri, namun yang terjadi di SMKN 1 Tapin Selatan persoalannya hanya lah menghadirkan DJ. Jadi kita harus bijak menilai, DJ hanya terkait dengan musik, sedangkan THM yang memiliki konotasi negatif karena di dalamnya bisa bersarang penyakit masyarakat. Jadi kasus tersebut merupakan dua hal yang berbeda. Maka penting bagi kita untuk tidak terjebak pada tafsir tunggal yang sempit, melainkan melihat dari sudut keberagaman budaya yang dinamis.
Menyikapi Perbedaan dengan Kearifan
Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua—pendidik, orang tua, dan masyarakat—untuk bersama-sama membimbing dan memfasilitasi generasi muda dalam mengekspresikan diri secara positif. Kritik yang membangun dan dialog terbuka jauh lebih bermanfaat dibandingkan penghakiman sepihak di ruang digital. Mari ciptakan lingkungan sosial yang mendukung pendidikan karakter, bukan hanya dengan larangan, tetapi juga dengan pendekatan yang empatik dan solutif.
Apa yang terjadi di SMKN 1 Tapin Selatan menjadi contoh nyata bagaimana ruang ekspresi generasi muda bisa dipahami dalam berbagai dimensi. Ini bukan hanya soal perayaan kelulusan, tapi juga tentang bagaimana kita menyikapi perubahan budaya, merawat komunikasi antar generasi, dan membangun ekosistem sosial yang mendidik, memanusiakan, dan merangkul keberagaman.
Mari kita rangkul perbedaan ini sebagai peluang untuk saling belajar, bukan saling menyalahkan. (Red)