
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali memantik perdebatan sengit di ruang publik. Sosoknya adalah representasi kompleks dari sejarah bangsa: di satu sisi diakui sebagai “Bapak Pembangunan” yang membawa stabilitas dan swasembada pangan, namun di sisi lain tak terpisahkan dari catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan praktik otoritarianisme Orde Baru.
Polemik ini bukanlah sekadar perselisihan politik sesaat, melainkan pertarungan memperebutkan narasi sejarah dan standar moral kebangsaan. Lantas, bagaimana sebaiknya kita, sebagai warga negara yang dewasa, menyikapi dinamika yang membelah ingatan kolektif ini secara bijaksana?
1. Menerima Sejarah sebagai Kesatuan yang Kompleks
Sejarah tidak pernah hitam dan putih. Pemberian gelar pahlawan seringkali memicu penilaian biner: pahlawan sejati atau penjahat kemanusiaan.
-
Jasa yang Diakui: Kita tidak boleh menafikan kontribusi Soeharto dalam meletakkan fondasi pembangunan infrastruktur, menjaga stabilitas pasca-G30S, dan pencapaian swasembada pangan pada masanya. Kontribusi ini merupakan fakta sejarah yang disoroti oleh pihak yang mendukung gelar tersebut.
-
Luka yang Tak Terhapus: Di saat yang sama, kita harus mengakui dan tidak menoleransi catatan pelanggaran HAM berat yang terjadi di bawah rezim Orde Baru, seperti kasus Talangsari, pembunuhan misterius (Petrus), hingga kasus 1965-1966 yang dicatat oleh berbagai lembaga HAM.
Cara Bijak: Alih-alih memilih salah satu sisi secara absolut, kita perlu memandang sejarah Soeharto secara utuh (holistic): menerima jasanya tanpa menghapus atau membenarkan pelanggaran dan kekelaman masa lalu. Gelar tersebut adalah pengakuan negara atas sisi positif, tetapi bukan ampunan bagi kesalahan.
2. Memahami Kriteria Pahlawan Nasional
Kritik tajam dari aktivis dan akademisi sering berpusat pada benturan antara catatan sejarah Soeharto dengan Undang-Undang yang mengatur pemberian gelar Pahlawan Nasional, khususnya mengenai integritas moral dan ketiadaan tindak pidana berat atau pengkhianatan.
-
Proses Hukum: Bagi pihak yang tidak setuju, jalur hukum seperti mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dapat menjadi mekanisme demokratis untuk menguji kesesuaian keputusan dengan UU yang berlaku.
-
Kajian Kredibel: Pemerintah melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (DGTK) pasti telah melakukan kajian panjang. Publik berhak menuntut transparansi dan akuntabilitas dari proses kajian ini, agar penilaian tidak dianggap politis, melainkan murni historis dan legal.
Cara Bijak: Gunakan kritisisme yang berbasis data dan hukum. Perdebatan harus diarahkan pada standar dan mekanisme pemberian gelar, bukan hanya emosi politik.
3. Mendorong Rekonsiliasi dan Pengungkapan Kebenaran
Polemik gelar ini dapat menjadi momentum yang terpaksa untuk melanjutkan proses rekonsiliasi nasional yang belum tuntas, terutama terkait isu pelanggaran HAM berat masa lalu.
-
Penuntasan Kasus HAM: Gelar pahlawan tidak seharusnya menghentikan upaya negara untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi selama Orde Baru. Pengakuan dan pemulihan hak-hak korban (victim compensation) tetap menjadi tanggung jawab moral dan konstitusional negara.
-
Pendidikan Sejarah Kritis: Kontroversi ini adalah kesempatan emas untuk mengajarkan sejarah Indonesia secara kritis di sekolah. Generasi muda harus dikenalkan pada kedua sisi mata uang: keberhasilan pembangunan dan sisi gelap otoritarianisme, agar mereka memiliki ingatan kolektif yang matang.
Cara Bijak: Alihkan energi perdebatan dari saling menyerang ke tuntutan kolektif kepada negara: Rekonsiliasi harus dilanjutkan dan Kebenaran harus diungkap, terlepas dari siapa pun yang diberi gelar.
💡 Penutup: Kedewasaan Politik Bangsa
Menyikapi polemik gelar pahlawan untuk Soeharto adalah ujian kedewasaan bagi bangsa Indonesia. Kita harus mampu menghormati perbedaan perspektif, mendudukkan jasa tanpa mengaburkan luka, dan menggunakan dinamika ini untuk memperkuat fondasi demokrasi serta pengungkapan kebenaran sejarah.
Gelar Pahlawan Nasional adalah simbol penghormatan dari negara. Namun, narasi kepahlawanan sejati selalu berada di tangan rakyat yang bebas menafsirkan dan mengingat. Dengan bersikap kritis namun proporsional, kita memastikan bahwa penghargaan terhadap sejarah tidak menghilangkan tanggung jawab moral dan tuntutan keadilan.











